Wednesday, June 29, 2005

Renungan dari Bu Sri

Satu sore ruang dengar saya menangkap suara seorang perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Sri something di sebuah radio swasta kota Malang. Ibu ini membawakan acara renungan sore yang sarat dengan Kristenisasi. Tapi terlepas dari siapa yang mengatakannya, sebuah kebaikan tetap adalah kebaikan kan? Bukankah “Undzur maa qoola wa laa tandzur man qoola”? Dan kali itu temanya adalah tentang bagaimana kita memperlakukan orang miskin. Si Ibu mengisahkan penggalan cerita dari Bible ttg zaman ketika para petani gandum tidak memanen seluruh gandum yang ada di ladang mereka melainkan menyisakannya di pohon atau membiarkannya tercecer di tanah untuk di ambil oleh orang2 yang tidak mampu. Pun ketika si Ibu masih tinggal di kawasan pelabuhan Tanjung Priok. Ia menemukan orang2 yang mengambil minyak dari tanki2 yang bocor dan tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Seolah semua orang mempersilahkan minyak itu sebagai jatah bagi orang2 tidak mampu yang tersebar di kawasan Priok. Kemudian Si Ibu bertanya, Bagaimana dengan diri kita sekarang? Apakah kita sudah memperhatikan hak2 sodara2 kita yang tidak mampu? Apakah pernah terpikir untuk menyisihkan lima persen saja dari uang saku kita untuk membantu saudara2 kita? Apakah pernah tersirat di benak kita untuk sekedar menyisihkan sejumput beras yang kita masak sehari2 untuk membebaskan saudara2 kita dari kelaparan hari itu?

Sesaat setelah mendengar pertanyaan itu saya merasa tertampar. Betapa saya sangat egois karena sering kali mengeluh dengan kekurangan uang yang jadi masalah rutin tiap bulan. Betapa egoisnya saya yang menganggap penderitaan saya amat berat. Padahal di luar sana ada jiwa-jiwa yang lebih kekurangan dari saya. Bahkan untuk makan sekali sehari pun mereka harus membanting tulang atau melepaskan harga diri dengan mengemis.

Pasti ada yang langsung berkomentar, dalam Islam kan sudah ada konsep zakat, shodaqoh dsb. Ya memang benar. Islam sudah mengatur semuanya. Tapi kebanyakan kita memang pintar di teori tapi memble dalam kerja nyata.

Memberi sekedar lima ratus rupiah atau sebungkus nasi mungkin memang bukan solusi yang mendasar yang bisa membebaskan umat dari kelaparan dan meminta-minta. Tapi setidaknya itulah yang bisa kita lakukan untuk membantu saudara2 kita yang menadahkan tangan dan tidak mampu mengadakan usaha lain. Yang bagus memang dengan memberi mereka modal untuk menjalankan roda bisnis sendiri. Atau merombak sistem yg berlaku. Tapi kalau itu tidak bisa kita lakukan sekarang, kenapa kita tidak melakukan apa yang bisa kita bantu saat ini? Ketimbang sekedar mencela dan menghujat pemerintah dan tidak melakukan apa2 untuk membebaskan sudara kita dari kelaparan hari itu. Karena bagi saudara kita yang ditimpa musibah kelaparan, bukan seminar atau talk show yang mereka butuhkan. Mereka butuh bahan pangan dan gizi yang cukup. Mereka butuh kerja nyata. Bukan sekedar teori yang kita teriakan di ruang seminar ber-AC. Alangkah baiknya bila kita tidak hanya menyuarakan penderitaan mereka tapi juga langsung turun dan membantu kebutuhan pangan mereka.

Kadang kita memang seperti terobsesi pada hal-hal “besar” sampai melupakan hal2 kecil yang juga urgen……

0 Comments:

Post a Comment

<< Home